by

PEMBURU SYAHWAT DI BATAVIA

-Sejarah-17 views

 

source : merdeka.com

Berbicara mengenai prostitusi memang tidak akan ada habisnya, tidak jarang banyak orang yang memandang sebelah mata bahkan langsung mencibir, jika mendengar kata yang satu itu.

Sering kali prostitusi dihubungkan dengan hubungan kelamin saja, tetapi sesungguhnya ada pihak yang ikut menikmati dan mengambil keuntungan dari keberadaan prostitusi itu sendiri.

Prostitusi di Batavia dimulai pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal JP Coen, ketika ia mendirikan kota baru setelah membakar Jayakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PSDR-LIPI) tentang sejarah prostitusi di Jakarta menunjukkan, sejak masa inilah sistem pergundikan yang jadi cikal bakal prostitusi di Jakarta dimulai.

Sesungguhnya JP Coen tidak menyetujui praktek prostitusi, hal ini ditandai dengan dihukumnya Sarah, seorang putri angkatnya yang ketahuan “bermesraan” dengan perwira VOC di kediamannya. Sang perwira itu dihukum pancung, sedangkan Sarah didera dengan badan setengah telanjang.

Namun Coen tidak mampu membendung berkembangnya dunia prostitusi seiring dengan perkembangan kota Batavia ini dan JP Coen menyadari hakikatnya pria tidak bisa hidup tanpa wanita.

Dalam surat yang dikirim kepada para Direktur VOC, tertanggal 11 Mei 1620, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen menuliskan “Jika Anda tidak bisa mengirimkan perempuan baik-baik yang pernah menikah, mohon kirimkan kami para perempuan muda. Dan kami berharap, hal itu akan menjadi lebih baik ketimbang pengalaman kami berkencan dengan perempuan yang lebih tua.”

Penduduk Betawi masa itu menyebut para wanita pelaku prostitusi sebagai Cabo, yang diadaptasi dari bahasa China yaitu Chaibo. Cabo itu dapat ditemukan di sekitar hotel dan kawasan niaga.

Para pengguna Cabo dibedakan menjadi dua yaitu kalangan elit dan kalangan rendahan. Untuk prostitusi elite para wanita didatangkan secara khusus oleh mucikari mereka dari Makau dan kawasannya bernama Macao Po yaitu sebuah rumah bertingkat yang terletak di seberang stasiun Beos. Sedangkan untuk kalangan rendahan biasa ditemukan di daerah Glodok dan Mangga Besar.

Pada tahun 1635, dewan komisaris menggalakkan perkawinan dengan perempuan Asia untuk menciptakan perempuan campuran yang patuh, khususnya di Batavia.

Peraturan yang ditetapkan kala itu adalah apabila seorang pria menikah dengan wanita pribumi maka tidak boleh membawa keluarganya ke Belanda.

Aturan ini mengakibatkan banyak pegawai Kompeni lebih suka hidup dengan nyai-nyai, kapan saja mereka akan kembali ke Belanda dengan mudah mereka membebaskan diri dari ikatan dengan para gundik dan anak-anaknya tersebut.

Seiring dengan perkembangan kota Batavia, dari kawasan Macau Po, keberadaan rumah bordil meluas ke gang Mangga (kini sekitar jalan Pangeran Jayakarta).

Namun akhirnya prostitusi yang terletak di gang Mangga kalah bersaing dengan Soehian (rumah bordil) milik orang Tionghoa hingga mengakibatkan pemerintah Belanda menutup tempat itu. Tetapi kemudian tumbuh kembali di Gang Hauber (Petojo) dan Kali Got (Sawah Besar).

Wajah Gang Hauber saat ini sudah berubah menjadi kawasan perkantoran dan hunian. Oleh Walikota Jakarta Raden Soediro (menjabat 1 Juli 1951-1953), nama Gang Hauber dirubah menjadi Gang Sadar I (jalan penghubung antara jalan AM Sangaji dan jalan Cideng Timur).

BACA JUGA : KISAH TRAGIS SEORANG WANITA MALAM DI BATAVIA

Sumber: http://www.geocities.ws; https://id.wikipedia.org/; https://www.merdeka.com; https://tekno.kompas.com; https://nationalgeographic.grid.id/

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

11 + 6 =